-->

Ketika Radangan Pemilik Hak Ulayat Kembali Memuncak

Buku Suku Amungme Menggugat Freeport Butuh Formulasi Strategis

“Bapa, mana goa yang dulu kasih tunjuk saya itu? Ah.. itu sudah tidak ada,” spontan terungkap dari mulut Bupati Mimika, Eltinus Omaleng mengenang puluhan tahun silam saat masih sempat berjalan di belantara Tembagapura bersama orang tuanya.

Suasana pun tiba-tiba hening diwarnai haru kesedihan sang penulis, Bupati Eltinus Omaleng, SE semalam di ruangan Tembaga Rimba Papua Hotel – Timika, saat dirinya memberikan kesan pada peluncuran buku perdananya bertajuk,”Suku Amungme Menggugat Freeport. PT Freeport Indonesia dan Penelantaran Hak Masyarakat Adat.”

Sepertinya, inilah bukti radangan (baca- keluhan demi keluhan yang memprihatinkan-red)  yang kembali memuncak dari masyarakat adat pemilik hak ulayat untuk memperhatikan haknya di atas tanah Tembagapura yang kini nyaris habis terkikis akibat dijadikan area penambangan raksasa sejak tahun 1969.

Entah siapa yang bersalah? Ada pengakuan demi pengakuan soal bagaimana kompensasi bagi pemilik hak ulayat ini dikumandangkan dari waktu ke waktu, namun wujudnya tak kunjung berhasil dinikmati. Selain DANA SATU persen, yang menurut pengamatan fakta teknis peneliti pada Yosefardi.com   PT Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman hanyalah secuil dari rangkaian keuntungan besar yang berhasil dinikmati PT Freeport Mc Moran dan PT Freeport Indonesia bersama para mitra bisnisnya selama ini.

Dalam kolaborasi penguatan fakta teknis strategis saat launching buku Suku Amungme Menggugat Freeport itu, Hasiman yang didampingi Wakil Direktur Hukum Kemasyarakat Adat Sumatera Selatan  yang juga pengacara pada Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Tommy Indriadi Agustian, SH pun mengingatkan fakta riil Negara.  Dipahami bahwa, berhadapan dengan system regulasi hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini maka suka atau tidak memang dibutuhkan terobosan kerja keras masyarakat adat menghadapi strategi Negara.

Terutama yang secara politis juga seringkali menghambat kebutuhan mendasar, yang menjadi hak para pemangku adat di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di Mimika – Papua ini. “Memang inilah fakta yang harus dihadapi dan ada strategi yang bisa dilakukan untuk menghadapinya dan itu harus didukung oleh adanya kemauan dari semua komponen masyarakat pemilik hak ulayat, bahkan segenap masyarakat di Papua ini,” ujar Tommy.

Alhasil, apa yang bisa dilakukan demi menjawab semua radangan yang juga sempat terungkap dari hati dan mulut sejumlah tokoh pemilik hak ulayat yang hadir, sudah tentu adalah strategi efektif. Sejujurnya adalah benar yang diungkap Tommy maupun Ferdy dalam menyajikan sejumlah fakta teknis pendukung, dalam peluncuran buku Suku Amungme Menggugat Freeport itu.

Karena bagaimanapun, Tommy dan Ferdy adalah bagian dari masyarakat adat di Indonesia, yang juga membutuhkan sikap jujur dan adil dari pemerintah untuk bersedia mengakui apa yang menjadi hak Negara dan apa pula yang menjadi hak masyarakat pemilik ulayat atau masyarakat adat.

Fakta pendukung lainnya pun menjelaskan, misalnya dari media yang siap memberikan dukungan penuhnya bagi perjuangan masyarakat adat dalam memperoleh kembali hak-haknya. Meskipun disadari media di provinsi Papua bahkan Kabupaten Mimika bahwa, jangankan menjadi mulut atau corong masyarakat di daerah karena di konteks pusat pun, tak jarang strategis yang sudah dibuat bagus masih bisa saja bertepuk sebelah tangan. Terlebih jika berhadapan dengan Freeport yang diketahui sebagai corporasi kolaboratif sejumlah pebisnis atau politisi di Jakarta sana.

“Jadi yang dibutuhkan dari rangkaian rencana perjuangan kembali oleh masyarakat adat ini adalah formulasi trategis supaya jangan sampai mentok dan mengecewakan lagi masyarakat adat sendiri,” ujar Sam Wanda selaku pemimpin salah satu media di Timika dalam kesempatan diskusi.

 Namun kembali lagi, masih ada kah kemauan para pemimpin adat, terutama juga pemimpin daerah selaku pemegang kewenangan yang secara terstruktur diberikan mandate mewakili Negara pada tingkat daerah provinsi maupun Kabupaten.

“Jangan sampai disini bicara sepakat tapi di Jakarta sana mulai bicara yang lain. Ini juga menjadi tantangan kita bersama,” pesan Tommy.

Tommy pun bahkan menyemangati, kalau perlu masyarakat adat memiliki media sebagai sarana mengkampanyekan masalah ini justru bagus sekali.

Kini, kesempatannya memang ada pada independensi pemegang kekuasaan yang kebetulan saat ini masih dimiliki sang penulis, yang juga Bupati Mimika, Eltinus Omaleng. Bagaimana gugatan ini hendak dilaksanakan bersama komponen masyarakat adat, sudah jelas merupakan strategi syang tak perlu digembar-gemborkan. Namun yang pasti, Suku Amungme Menggugat Freeport jelas bukanlah persoalan yang bisa diremehkan atau diangap enteng berhadapan via a vis Negara dan juga Korporasi PT Freeport Indonesia dan PT Freeport Mc Moran. Masyarakat pemilik hak ulayat juga, jelas hanya akan menantikan semua yang diharapkan dari hasil gugatan itu berhasil dicapai secara maksimal.

Selamat berjuang dalam melaksanakan proses gugatan kepada Bupati Omaleng dan masyarakat adat, segenap rakyat Papua dan masyarakat Indonesia di Papua dan terlebih media SALAM PAPUA sudah pasti menghendaki yang terbaik bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat daerah ini. Tuhan Memberkati… Amin. (yohanis s nussy)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel