-->

Musyawarah Besar Hari Kedua, Keluarga Wama-Alma Bentuk Empat Komisi

SAPA (TIMIKA) – Hari kedua Musyawarah Besar (Mubes) Keluarga Wakerkwa-Magai, Alom-Magai (Wama - Alma) kembali dilaksanakan di Gereja Kristen Injili Indonesia  (GKII) Jemaat Getsemani  Utikini Baru, Senin (28/6). Dalam musyawarah kedua ini, panitia membentuk empat komisi untuk melakukan diskusi yakni, komisi A,B,C,dan D.

“Berhubung kemarin (senin 27/6 red) musyawarah ini sudah dibuka oleh asisten II bidang ekonomi dan pembangunan pemda mimika Drs Matrthen Paiding M.MT, maka hari ini merupakan hari kedua yang khusus membentuk dan pembahasan komisi, dan dibentuk empat komisi,” ujar intelektual  Mimika Dr. Hans Wakerkwa, M.Si,. kepada Salam Papua usai melakukan diskusi bersama para peserta Mubes.

Ia menjelaskan, bahwa dalam masing – masing komisi yang telah terbentuk tersebut, melakukan berbagai pembahasan sperti,  komisi A yang membahas tentang refleksi sejarah Injil masuk tanah Papua. Komisi B  membahas dan merefleksi kembali tentang kebiasaan perang yang sudah sering terjadi di mimika, dan kebiasaan bayar kepala. Komisi C membahas tentang kebiasaan pembayaran Mas kawin. Komisi D membahas tentang

Ia menambahkan, bahwa  dengan adanya diskusi dan pembahasan tentang perang dan bayar kepala, maka Kita kembali mengingat, bahwa sesungguhnya keterlibatan dalam peprangan itu hanya satu orang saja, tetapi karena diketahui marganya, maka  nama suku pun menjadi terbawa – bawa. Sebagai contoh, kami dari marga Wakerkwa, sesungguhnya tidak pernah membentuk kubuh kusus untuk berperang, namun karena hidup terpencar, maka tidak terorganisir. Sedangkan unutk bayar kepala, itu bukan merupakan tradisi tetapi dikarenakan adanya uang, sehingga yang memiliki banyak uang merasa bahwa bayar kepal itu benar dan menjadi tradisi dalam adat istiadat.

Demikian juga dengan refleksi tentang masuknya Injil, ini berarti agar semua generasi mudah Wakerkwa-Magai, Alom-Magai (Wama - Alma) bisa terus mendalami Injil yang merupakan pedoman ajaran dari Tuhan. Kemudian mengenai Mas Kawin, dirinya mengatakan, bahwa mas kawin bukan tradisi yang mengharuskan pihak laki – laki membayar harus dengan jumlah yang mencapai belasan juta, puluhan, bahkan milyaran.

“Dengan adanya pembahasan seperti ini, maka kami akan kembali pada adat istiadat yang memang dipakai oleh nenek moyang dahulu sperti. Nenek moyang dalam suku kami sesungguhnya tidak pernah mengajarkan tentang peperangan, Mas kawin harus Besar, kemudian nenek moyang juga tidak pernah mengajarkan bahwa setiap keluarga, saudara, saudari yang meninggal, maka pihak paman, dan saudara – saudara lainnya harus bayar. Yang jelas nenek moyang dulu meyakinkan bahwa, kematian dalam peperangan adalah salah satu jalan Tuhan dalam menentukan orang tersebut harus mati dalam peperangan,” Ungkap Hans yang juga menjelaskan bahwa, apa bila saudari permpuan menikah, maka suatu kewajiban bagi pihak lelaki untuk membayar adat seberapa adanya, bukan berarti permpuan tersebut dibeli.

Terkait dengan pemahaman -  pemahaman yang seperti ini, maka dalam wadah yang di bentuk keluarga Wakerkwa-Magai, Alom-Magai (Wama - Alma), akan secara berlahan menghapus atau menolak semua tradisi atau kebiasaan yang selama ini dibuat oleh individu – individu tertentu, serta tidak berlandas pada ajaran agama dan adat istiadat yang sesungguhnya.

“Kami akan menolak atau menghapus semua bentuk kebiasaan yang bertolak belakang dengan ajaran agama, dan mencoreng tradisi adat istiadat nenek moyang kami. Kemudian wadah ini kami bentuk masih dibawah naungan moto Eme Neme Yauware, di mana kami juga sangat menjunjung tinggi nilai yang terkandung dalam tubuh Eme Neme Yauware, yakni Bersatu, bersaudara, membangun.,” Ujar Hans. (Cr1)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel