Ungkapan Haru Bupati Luncurkan Buku 'Suku Amungme Menggugat Freeport'
pada tanggal
Friday, February 26, 2016
SAPA (TIMIKA) – Kucuran air mata penuh haru mengalir dari kedua mata Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, SE saat mengisahkan kunjungan dirinya ke kampung halamannya di Amolepura.
“Saya sedih dengan apa yang kami alami saat ini,” ungkap Bupati Omaleng saat memberikan sambutan pada peluncuran buku hasil karyanya, berjudul ‘Suku Amungme Menggugat Freeport – PT Freeport Indonesia dan Penelantaran Hak Adat Masyarakat’ di Rimba Papua Hotel, Kamis (25/2) petang.
Dihadapan puluhan tamu undangan yang terdiri dari perwakilan Lemasa, Lemasko, Instansi Sipil, TNI, Polri, Pemda, BUMN, Perusahaan Swasta dan Yayasan. Ia ungkapkan kesedihan yang muncul dari pergulatan panjang dirinya sebagai putra adat Suku Amungme, pemilik hak ulayat atas gunung-gunung yang saat ini dijadikan sebagai areal penambangan PT. Freeport Indonesia (PTFI).
“Saya berani untuk keluarkan buku ini karena ada rekomendasi dari komnas HAM atas nasib masyarakat Suku Amungme yang berhadapan dengan PT Freeport selama 48 tahun beroperasi. Sebab meski sudah lama, tapi belum ada pembayaran ganti rugi,” ujar dia.
PTFI sebagai perusahaan dengan hasil tambang emas justru membiarkan orang Amungme hidup miskin, bahkan royalti emas yang seharusnya 6 hingga 7 persen untuk pemilik ulayat adat, hanya diberikan 1 persen saja.
“Tapi karena rakus, tidak mau bayar dan hanya mengeruk saja. Kami sebagai pemilik hak ulayat tidak menerima kondisi seperti ini. Selama empat puluh delapan tahun kami tidak pernah diperhatikan dan tidak ada kompensasi. Kompensasi itulah yang kami kejar, meski diabaikan oleh Jakarta dan dianggap bukan siapa-siapa. Papua ini dianggap tidak ada manusianya, tidak bertuan sehingga tanah ini diambil dengan rakusnya,” ungkap Bupati Omaleng
Ia selanjutnya menyatakan, masyarakat Suku Amungme secara resmi telah melayangkan tuntutan sebesar US$ 20,8 miliar atau setara Rp 273 triliun kepada PTFI. Sembari menyatakan bahwa tuntutan itu memiliki dasar hukum, moral dan sosiologis yang kuat.
“Sebelumnya kami telah menerbitkan buku yang berisi kumpulan tuntutan kami kepada presiden juga kepada kedutaan besar di Jakarta, namun itu tidak ada tanggapan. Kami kemudian mengambil langkah-langkah lain dengan mengambil beberapa poin yang menjadi tuntutan. Atas restu dari lembaga masyarakat adat Lemasa, kami akan mengajukan gugatan ini ke pengadilan,” ujar dia.
Tuntutan ganti rugi atas 15 gunung adat yang hilang ini adalah perjuangan pihaknya untuk memperbaiki nasib masyarakat Suku Amungme pada khususnya dan Papua pada umumnya. Sebab hingga saat ini nafkah orang Amungme telah dirampas oleh perusahaan, tanpa ada kompensasi yang setimpal.
“Ini langkah awal kami menuntut hak untuk masa depan anak-anak kami. Harapan ini sudah kami sampaikan sebelum James Moffet (pendiri Freeport McMoran) turun, sebab dia harusnya berikan sesuatu kepada kami yang telah berjuang selama ini,” tutur Bupati Omaleng.
Ia katakan pasca turunnya James Moffet dari kursi chairman Freeport McMoran, janji yang diberikan perusahaan itu secara umum tidak pernah terwujud. Sebab setelah Moffet turun, tidak ada lagi orang yang dapat berbicara dengan Suku Amungme dan Kamoro.
“Padahal kami, suku Amungme Kamoro yang lakukan MoU dengan Moffet. Janji-janji yang disampaikannya luar biasa manis, namun hingga sekarang tidak ada tindakan. Bahkan hingga turun pun, Moffet tidak pernah memberitahu itu kami. Cara-cara seperti ini yang membuat kami merasa segera untuk lakukan gugatan, entah akan diselesaikan melalui pengadilan, itu urusan nanti. Intinya kami akan menggugat,” tutur dia.
Selanjutnya ia menyatakan kerugian suku Amungme lebih tinggi dibandingkan dana 1 persen yang disalurkan melalu Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK). Sebab dana itu adalah bantuan sosial yang diberikan tidak hanya kepada kedua suku tetapi juga kepada lima suku kekerabatan.
“Apa yang akan diwariskan kepada anak cucu kami kelak di kemudian hari ketika gunung-gunung yang indah kemudian hany meninggalkan lubang-lubang tambang menganga? Apa yang bisa kami ceritakan kepada generasi yang akan datang ketika yang tersisa pada kami hanya ‘nama’?” ungkap Omaleng.
Sembari mengemukakan harapannya, agar PTFI dapat membuka mata dan hati atas tuntutan yang diberikan ini. Tanpa ada sikap menang sendiri. Apalagi ditengah-tengah isu divestasi saham yang kian mencolok.
“Kami harus mendapatkan bagian saham tersendiri. Kami akan mengusahakan supaya warga pemegang hak ulayat juga memiliki saham disana,” pungkas dia. (Albert)
“Saya sedih dengan apa yang kami alami saat ini,” ungkap Bupati Omaleng saat memberikan sambutan pada peluncuran buku hasil karyanya, berjudul ‘Suku Amungme Menggugat Freeport – PT Freeport Indonesia dan Penelantaran Hak Adat Masyarakat’ di Rimba Papua Hotel, Kamis (25/2) petang.
Dihadapan puluhan tamu undangan yang terdiri dari perwakilan Lemasa, Lemasko, Instansi Sipil, TNI, Polri, Pemda, BUMN, Perusahaan Swasta dan Yayasan. Ia ungkapkan kesedihan yang muncul dari pergulatan panjang dirinya sebagai putra adat Suku Amungme, pemilik hak ulayat atas gunung-gunung yang saat ini dijadikan sebagai areal penambangan PT. Freeport Indonesia (PTFI).
“Saya berani untuk keluarkan buku ini karena ada rekomendasi dari komnas HAM atas nasib masyarakat Suku Amungme yang berhadapan dengan PT Freeport selama 48 tahun beroperasi. Sebab meski sudah lama, tapi belum ada pembayaran ganti rugi,” ujar dia.
PTFI sebagai perusahaan dengan hasil tambang emas justru membiarkan orang Amungme hidup miskin, bahkan royalti emas yang seharusnya 6 hingga 7 persen untuk pemilik ulayat adat, hanya diberikan 1 persen saja.
“Tapi karena rakus, tidak mau bayar dan hanya mengeruk saja. Kami sebagai pemilik hak ulayat tidak menerima kondisi seperti ini. Selama empat puluh delapan tahun kami tidak pernah diperhatikan dan tidak ada kompensasi. Kompensasi itulah yang kami kejar, meski diabaikan oleh Jakarta dan dianggap bukan siapa-siapa. Papua ini dianggap tidak ada manusianya, tidak bertuan sehingga tanah ini diambil dengan rakusnya,” ungkap Bupati Omaleng
Ia selanjutnya menyatakan, masyarakat Suku Amungme secara resmi telah melayangkan tuntutan sebesar US$ 20,8 miliar atau setara Rp 273 triliun kepada PTFI. Sembari menyatakan bahwa tuntutan itu memiliki dasar hukum, moral dan sosiologis yang kuat.
“Sebelumnya kami telah menerbitkan buku yang berisi kumpulan tuntutan kami kepada presiden juga kepada kedutaan besar di Jakarta, namun itu tidak ada tanggapan. Kami kemudian mengambil langkah-langkah lain dengan mengambil beberapa poin yang menjadi tuntutan. Atas restu dari lembaga masyarakat adat Lemasa, kami akan mengajukan gugatan ini ke pengadilan,” ujar dia.
Tuntutan ganti rugi atas 15 gunung adat yang hilang ini adalah perjuangan pihaknya untuk memperbaiki nasib masyarakat Suku Amungme pada khususnya dan Papua pada umumnya. Sebab hingga saat ini nafkah orang Amungme telah dirampas oleh perusahaan, tanpa ada kompensasi yang setimpal.
“Ini langkah awal kami menuntut hak untuk masa depan anak-anak kami. Harapan ini sudah kami sampaikan sebelum James Moffet (pendiri Freeport McMoran) turun, sebab dia harusnya berikan sesuatu kepada kami yang telah berjuang selama ini,” tutur Bupati Omaleng.
Ia katakan pasca turunnya James Moffet dari kursi chairman Freeport McMoran, janji yang diberikan perusahaan itu secara umum tidak pernah terwujud. Sebab setelah Moffet turun, tidak ada lagi orang yang dapat berbicara dengan Suku Amungme dan Kamoro.
“Padahal kami, suku Amungme Kamoro yang lakukan MoU dengan Moffet. Janji-janji yang disampaikannya luar biasa manis, namun hingga sekarang tidak ada tindakan. Bahkan hingga turun pun, Moffet tidak pernah memberitahu itu kami. Cara-cara seperti ini yang membuat kami merasa segera untuk lakukan gugatan, entah akan diselesaikan melalui pengadilan, itu urusan nanti. Intinya kami akan menggugat,” tutur dia.
Selanjutnya ia menyatakan kerugian suku Amungme lebih tinggi dibandingkan dana 1 persen yang disalurkan melalu Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK). Sebab dana itu adalah bantuan sosial yang diberikan tidak hanya kepada kedua suku tetapi juga kepada lima suku kekerabatan.
“Apa yang akan diwariskan kepada anak cucu kami kelak di kemudian hari ketika gunung-gunung yang indah kemudian hany meninggalkan lubang-lubang tambang menganga? Apa yang bisa kami ceritakan kepada generasi yang akan datang ketika yang tersisa pada kami hanya ‘nama’?” ungkap Omaleng.
Sembari mengemukakan harapannya, agar PTFI dapat membuka mata dan hati atas tuntutan yang diberikan ini. Tanpa ada sikap menang sendiri. Apalagi ditengah-tengah isu divestasi saham yang kian mencolok.
“Kami harus mendapatkan bagian saham tersendiri. Kami akan mengusahakan supaya warga pemegang hak ulayat juga memiliki saham disana,” pungkas dia. (Albert)