-->

Aparat Dinilai Bungkam Ruang Demokrasi Aktivis KNPB Timika

Suasana saat pembongkaran aksi aktivis KNPB Timika / SAPA SALDI
SAPA (JAYAPURA) – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Laurenzus Kadepa menyayangkan sikap Kepolisian Resort (Polres) Mimika yang membubarkan paksa dan menangkap belasan aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Timika, di Lapangan Kampung Bhintuka SP-XIII, Kuala Kencana, Selasa (5/4).

Menurutnya , aparat keamanan kembali membungkam ruang demokrasi di Papua dengan cara pembubaran dan penangkapan, ketika massa KNPB menggelar ibadah bersama untuk mendoakan negara-negara Melanesia Spearhead Group (MSG). Tujuannya, agar menerima United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai anggota penuh di MSG.

“Polisi membubarkan paksa kegiatan dan melakukan penangkapan belasan aktivis KNPB dengan alasan ada orasi politik yang mengarah ke makar (istilah resmi kepolisian-red) atau menuntut hak (Istilah versi aktivis KNPB-red). Tapi saya menilai, pembubaran, penangkapan dan penembakan itu menutup ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi,” kata Kadepa via teleponnya kepada Salam Papua, Kamis (7/4).

Ditambahkannya, cara itu bukanlah rumus yang tepat untuk meng-Indonesia-kan orang asli Papua (OAP). Justru sebaliknya, cara seperti itu akan membuat orang asli Papua kian tak percaya pada negara.

“Konflik tak akan berakhir sepanjang Pemerintah Indonesia masih melihat Papua hanya dari sisi negatif saja,” ucapnya.

Mengenai tuduhan polisi yang menyebut orasi dalam aksi itu mengarah ke makar (menuntut hak-red), jelas Kadepa, ia tak setuju. Katanya, aksi itu adalah kegiatan yang dimediasi KNPB untuk mendesak pemimpin MSG agar menerima ULMWP menjadi anggota MSG dari statusnya yang hanya observer.

“Seperti Indonesia adalah anggota asosiasi di MSG, mereka ada dalam satu rumah yaitu rumah MSG. Jadi, saya menilai itu bukan makar. Kalau mengenai Kapolres Mimika, AKBP Yustanto Mudjiharso terkena pukulan, saya belum bisa berkomentar. Saya belum melihat buktinya,” katanya.

Terpisah, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid) Humas Polda Papua, Komisaris Besar (Pol) Patrige Renwarin mengatakan, sebelumnya, pihak kepolisian setempat dan KNPB sepakat kegiatan hanya sebatas ibadah. Namun kenyataan di lapangan, ada orasi yang mengarah pada disintegrasi. Polisi telah menetapkan dua aktivis KNPB Mimika sebagai tersangka dengan tuduhan makar dan pemukulan terhadap Kapolres Mimika.

“Ini berdasarkan hasil pemeriksaan 13 orang saksi yang diduga menyaksikan pemukulan tersebut. Saksi ini, anggota KNPB.  Mereka telah dipulangkan karena tidak terlibat,” kata Patrige.

Dipertanyakan

Kepala Suku Amungme, Nerius Katagame mempertanyakan, tindakan kepolisian terhadap kegiatan KNPB, sehingga mengakibatkan pemukulan terhadap Kapolres, di Kampung Bhintuka SP-XIII pada, Selasa (5/4) lalu.

“Saya baru mendapatkan laporan, kalau kapolres dapat pukul, pada saat kegiatan KNPB. Memang penyelengara kegiatan KNPB tidak melaporkan kepada kami, tetapi kami juga tidak diam kalau ada hal-hal yang tidak menyenangkan dalam arti seperti sekarang,” kata Nerius Katagame saat ditemui di kantornya, Kamis (7/4).

Menurutnya, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah KNPB menyampaikan surat ijin kegiatan ke pihak kepolisian atau tidak. Sesuai yang diketahui, ada surat yang mereka keluarkan, itu ditembuskan ke Kapolsek Kuala Kencana dalam rangka KNPB melakukan kegiatan di wilayah hukumnya.

“Sesuai yang dilaporkan kepada kami bahwa, keributan terjadi pada saat ibadah. Setelah ketua KNPB, Steven Itlay menyampaikan sambutan dan dalam sambutan disampaikan tentang Penentuan Pendapatan Rakyat (Pepera) dalam menyampaikan sejarah, tentang Pepera Tahun 1969,” kata Nerius.

Pemberitahuan yang dibuat KNPB kepada kepolisian, maka mereka berharap polisi turun mengamankan kegiatan tersebut. Yang menjadi pertanyaan tetapi bisa terjadi kejadian seperti itu.

“Menurut saya kalau sudah ada surat ijin, berarti satu kali 24 jam kalau memang polisi merasa kegiatan bertentangan. Polisis harus keluarkan larangan tentang kegiatan ini, tetapi menurut polisi tidak apa-apa. Tiba-tiba melakukan tindakan, terhadap tokoh-tokoh Papua, maka masyarakat tidak akan terima baik hal seperti itu,” ungkap Nerius.

Lanjut ia, sangat diyakinkan kalau pada saat surat ijin keramaian yang dibuat KNPB ke polisi itu. Lebih baik tidak usaha diijinkan saja. Sesuai dengan pengetahuannya, sepertinya ini terjadi kekeliruan saja.

“Perlu pendekatan kepolisian, pendekatan adat, agama sangat penting. Tapi jangan pendekatan hukum. Kalau pendekatan hukum maka yang terjadi ya seperti itu,” tutur Nerius.

Ia pertanyakan, sebenarnya KNPB di Timika juga bukan baru sekarang, tetapi sudah ada beberapa tahun lalu. Kantor KNPB  jelas. Jadi, kalau polisi mengatakan tidak tahu kantornya, itu artinya polisi baru di Timika.

“Satu hal lagi yang harus diketahui bahwa, polisi mengatakan KNPB ada di sini memenuhi unsur makar. Kalau polisi bilang KNPB makar, kenapa polisi ijinkan mereka ada di Timika. Kami perlu pertanyakan hal itu. Nyata-nyata secara fisik kantornya jelas, parlemen KNPB ada, kalau memang polisi nyatakan KNPB melakukan makar, memang dilarang di Negara Indonesia tapi kenapa selama ini diijinkan di Timika,” tegas Nerius.

Oleh sebab itu, Suku Amungme minta kalau memang tokoh-tokoh KNPB yang masih ditangkap polisi, mau diproses secepatnya. Sebagai Suku Amungme siap dan meminta kepada penasehat hukum untuk dampingi mereka, kalau polisi lanjut maka dari Suku Amungme akan siap pengacara.

“Masalah ini, saya sebagai Kepala Suku Amungme akan pertanyakan ke Polda dan Polri. Kenapa KNPB sudah ada di Timika sekian tahun dan ada kegiatan, baru terjadi kejadian seperti ini. Karena kejadian seperti ini maka masyarakat juga tidak merasa aman,” tutur Nerius.

Ibu Nella sebagai warga Suku Amungme menjelaskan, kejadian itu awalnya pada saat kesan-pesan dari ketua KNPB. Dan dalam sambutan tentang sejarah Pepera 1969, belum selesai kesan dan pesannya, langsung Kapolres suruh berhenti kegiatan, dalam arti bubar semua.

“Pada saat itulah, kami semua dihentikan dengan kekerasan untuk membuka atribut loreng yang kami gunakan. Sayang sekali pada saat itu, banyak yang gunakan atribut loreng dan langsung dibuka, mereka hanya mengunakan celana kolor saja,” tutur Nella.

Setidaknya, polisi tidak boleh membuat kekerasan terhadap KNPB seperti itu, sebab melaksanakan kegiatan tersebut juga ada surat ijin dan surat itu dibuat dari KNPB ke polisi.

“Kalau memang polisi amankan atribut loreng, harus tertibkan dulu yang penjual di pasar. Sebab artibut yang kami gunakan ini kami beli di pasar,” ungkap Nella.

Disesalkan
Terhadap peristiwa itu, Pendeta Giman Magai mengatakan, kegiatan agama yang dilakukan di lingkungan gereja tidak oleh dikait-kaitkan dengan kepentingan politik.  Apalagi dalam kegiatan itu terjadi aksi pemukulan terhadap Kapolres Mimika, AKBP Yustanto Mujiharso. Hal itu, menurut dia sebagai seorang pendeta, sangatlah dilarang Tuhan.

Kegiatan ibadah bertajuk Doa Pemulihan Bangsa Papua yang digelar KNPB di Kampung Bhintuka SP-XIII, Distrik Kuala Kencana, dikatakan Pdt. Giman Magai tidak boleh diberengi dengan unsur politik. Menurut dia, kegiatan politik jika dicampur dengan dengan kegiatan agama, sangat dilarang.  Terlebih dalam kejadian pemukulan yang korbannya adalah seorang Kapolres, yang adalah seorang pejabat negara.

“Saya melihat bahwa kemarin ada pemukulan Kapolres, itu tidak benar. Jadi, pemukulan itu tidak benar. Agama melarang itu dan juga Tuhan tidak kehendaki pemukulan. Kalau ibadah, memang kita harus ikuti, karena Pendeta adalah gembala dan pelayan Tuhan yang benar, bukan ikut politik untuk mau merdeka. Itu tidak,” terang Pendeta Giman Magai.

Ditambahkan Pdt. Giman, TNI-Polri merupakan pelindung rakyat dan suka bekerjasama baik dengan masyarakat maupun para tokoh agama. Sehingga, terkait aksi pemukulan Kapolres oleh oknum warga yang terlibat dalam kegiatan KNPB, sangat disayangkan kejadiannya. (arjun/ervi ruban/saldi hermanto)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel