Pencaker Palang Gerbang Petrosea
pada tanggal
Friday, June 17, 2016
Tuntut Perusahaan Berhenti Terima Karyawan Luar Papua
![]() |
Spanduk pencaker lokal untuk Petrosea |
SAPA (TIMIKA) – Puluhan Pencari Kerja (Pencaker) lokal memalang pintu masuk area perusahaan PT. Petrosea di Jalan Cenderawasih SP 2 Timika, Kamis (16/6). Aksi ini dilakukan karena pencaker merasa tidak puas dengan jumlah karyawan yang didatangkan dari luar Papua lebih banyak dibandingkan dengan jumlah karyawan yang di rekrut dari dalam Timika. Pendemo memblokade pintu masuk perusahaan dengan memasangkan spanduk yang bertuliskan tuntutan mereka.
“Kami tidak puas dengan porsi yang diberikan perusahaan Petrosea yang tidak mempekerjakan pencaker yang ada di Timika, melainkan memperkerjakan tenaga dari luar Daerah yaitu tenaga dari tenaga dari Kalimantan,” ungkap ketua tim Pencaker Kristian Fonataba kepada wartawan di depan Petrosea, Kamis (16/6).
Lanjut Kristian, akar permasalahan ini adalah perusahaan tidak menghormati keputusan dari Provinsi Papua, lebih khusus Mimika yang komposisi penerimaan harusnya 70 : 30 persen, tetapi kenyataan dilapangan berbeda, dimana pekerja didatangkan langsung dari Kalimantan, sementara di Timika ada pencaker yang menunggu untuk dipanggil.
“Kami melihat hal ini seperti memindahkan Kalimantan ke Papua khususnya di Timika. Kami harus memperjuangkan hak-hak kami sebagai orang pribumi dan non Papua, yang lahir, besar dan selesaikan pendidikan di Papua. Jadi kami harapkan kepada Pemerintah Daerah dan DPRD bisa membantu menyelesaikan persoalan ini, kami minta segala usaha yang dilakukan harus mendapat respon yang kuat,” tambah Kristian.
Lanjut Kristian sebenarnya pencaker sudah pernah melakukan demo di depan gedung DPRD beberapa waktu lalu, namun hingga saat ini belum ada hasilnya. DPRD punya kewenangan memanggil perusahaan untuk mempertemukan antara pengusaha dan pencaker juga Dinas terkait, namun sampai hari ini belum ada hasilnya.
“Kami senang Disnaker sudah melakukan pembatasan tenaga dari luar, cuman kami melihat itu hanya dikertas saja tetapi dilapangan masih lebih banyak pekerja yang datang dari luar. Perusahaan Petrosealah yang membuka lowongan kerja dan pencekerpun sudah ketemu dan melakukan pendekatan karena berdasarkan Perdasi untuk mengambil sesuai dengan opsi Otsus tetapi kenyataan berbeda,” tambah Kristian.
“Kami bukan larang orang dari luar untuk kerja disini, tapi kami minta jangan monopoli. Kami berharap kepada DPRD khususnya Komisi C yang membidangi ketenagakerjaan, agar bersama dengan Dinas terkait harus membantu untuk tangani permasalahan ini agar diselesaikan dan ada solusi. Kami juga harap hal ini bisa direspon kalau tidak akan kami membikin aksi lebih besar lagi di Kantor DPRD,” ungkap Kristian.
Ditempat yang berbeda Anggota Komisi C DPRD Mimika Aser Gobai menanggapi, sesuai dengan instruksi Disnaker yang baru, kepada semua perusahaan yang ada ditimika maka permasalahan ini pihak perusahan harus melihat dan mengembalikan ke Dinas terkait.
“Kami sudah dengar bahwa Petrosea datangkan tenaga kerja dari Kalimantan, padahal dalam aturan itu tidak boleh. Sebab kalau di Kalimantan itu aturan jelas dimana perusahaan utamakan putra daerah terlebih dahulu. Maka perusahaan itu harus melihat dan mengembalikan ke Disnaker untuk menyelesaikan permasalahan ini,” tambah Aser.
Lanjut Aser, kalau dilihat apapun yang dilakukan pencaker itu sudah ditindak lanjuti dan Komisi C sudah melakukan rapat bersama dengan Dinas yang melaksanakan aturan UU No 12 dimana mengedepankan tenaga lokal, sehingga Dinas terkait sendirilah yang nanti mampu menterjemahkan dan melaksanakan itu. Perusahaan itu mendatangkan tenaga dari luar berarti perusahaan itu nakal padahal pencaker lokal banyak yang membutuhkan pekerjaan.
Pantuan di lapangan, pendemo membetangkan dua spanduk yang bertuliskan “Kami pencaker Timika bukan penonton, kenapa kasih pindah Kalimantan ke Papua. Satunya lagi Berikan kami pencaker Papua untuk bekerja di PTFI atau kontraktor privatisasi, dan pelaku usaha lainnya di Kabupaten Mimika sesuai dengan implementasi UU Otsus No.21 tahun 2001. (Maria Welerubun)