-->

10 WNI Dijaga Ketat Anggota Abu Sayyaf

Korban penyanderaan Abu Sayyaf
SAPA (ZAMBOANGA) - Penyanderaan terhadap 10 Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf sudah memasuki hari keenam. Seorang sumber militer Filipina seperti dilansir zamboangatimes.ph, Kamis (31/3), mengatakan para penyandera 10 WNI adalah kelompok Abu Sayyaf dari faksi pemimpin senior Alhabsy Misaya dan Uddon Hassim.

Disebutkan sebanyak lima belas anggota kelompok bersenjata Abu Sayyaf membawa 10 WNI memakai speedboat menuju kota pesisir Kalingalan Caluang Sulu pada Minggu (26/3), demikian informasi dari sumber militer itu.

Sumber intelijen militer, yang enggan disebutkan namanya karena tidak berwenang menyampaikan keterangan kepada wartawan, mengutip informasi penduduk desa Kaligalang Caluang mengatakan speedboat tiba dari pulau Languyan, tetangga Tawi Tawi, selatan Filipina, berdekatan dengan Sabah, Malaysia.
Dia menambahkan gerilyawan penyandera 10 WNI datang dari pulau Languyan dimana 10 ABK asal Indonesia dan tongkang diculik Sabtu (25/3) pagi.

Berdasarkan keterangan penduduk desa, diketahui bahwa setelah mencapai desa Kambing, kelompok Abu Sayyaf menyewa jeep dan naik menuju ke kediaman pemimpin senior Abu Sayyaf lainnya. Yakni, sub Abu Sayyaf yang bernama SMP Lahab alias Jim Dragon di desa Masjid Punjungan di Kalingalan Caluang.
Dia mengatakan 10 WNI itu kini dijaga oleh anggota-anggota Abu Sayyaf bernama Sabirul Sahiyal, Taib dan Lukman yang merupakan pengikut Misaya.

Kelompok Abu Sayyaf menyandera 10 WNI. Pembajakan terjadi terhadap kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton batubara dan 10 orang awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.

Saat dibajak kedua kapal dalam perjalanan dari Sungai Puting (Kalsel) menuju Batangas (Fililina Selatan). Tidak diketahui persis kapan kapal dibajak.

Kabar penculikan itu pun diterima Mayjen Demy Tejares, wakil komandan satuan tugas Zambasulta (Zamboanga-Basilan-Sulu dan Tawi-Tawi). Tejares menjelaskan pimpinan kelompok bersenjata Abu Sayyaf yang membajak dan menyandera 10 WNI itu adalah dua bersaudara, yakni Nickson dan Brown Muktadil.

Berdasarkan informasi intelijen militer Filipina di Mindanao Barat yang diperoleh Tejares menyebutkan, keduanya merupakan kelompok Abu Sayyaf dari jaringan Alhabsy Misaya.

Dijelaskan menggunakan kapal motor kecil, Muktadils menderek tugboat. Tugboat kemudian ditemukan di desa pesisir Tubig Dakula di Languyan, Tawi-Tawi, kata sumber itu.

Ada laporan yang bertentangan tentang ketika insiden terjadi. Tejares mengatakan itu terjadi Senin malam tapi sumber militer lain mengatakan hal itu terjadi pada hari Sabtu sore.

Mayjen Filemon Tan Jr., juru bicara untuk Komando Mindanao Barat (Wesmincom), mengatakan dia tidak bisa memberikan rincian penculikan.
Panglima TNI Filipina Jenderal Hernando Iriberri pun langsung terbang ke daerah kepulauan Sulu, di wilayah Selatan Filipina untuk memeriksa dan mengeluarkan perintah penyelamatan 10 Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia.

Wakil Gubernur Sulu Abdusakur Tan mempertanyakan kesiagaan militer, "mengapa orang asing dapat dengan mudah diculik di perairan laut Sulu ketika pasukan tersebut seharusnya berpatroli di laut ini."

"Militer dan polisi harus menjelaskan pertama mengapa ada orang Indonesia di perairan laut Sulu," kata Tan.

"Kenapa bajak laut mampu mendeteksi kapal tugboat dan orang Indonesia ketika pihak berwenang seharusnya bisa memantau karena dilengkapi dengan peralatan pemantauan?"

Sementara itu juru bicara angkatan bersenjata Filipina, Brigjen Restituto Padilla kepada wartawan di kamp Aguinaldo mengatakan "konsultasi tingkat tinggi" antara Filipina dan Indonesia terus dilakukan.

Tawanan diidentifikasi sebagai Peter Tonsen Barahama, Julian Philip, Alvian Elvis Peti, Mahmud, Surian Syah, Surianto, Wawan Saputra, Bayu Oktavianto, Reynaldi dan Wendi Raknadian.

Pemerintah Indonesia menolak untuk ditekan oleh pihak manapun termasuk memenuhi tuntutan membayar uang tebusan yang diminta kelompok yang mengaku Abu Sayyaf di Filipina yang menyandera 10 Warga Negara Indonesia (WNI).

"Yang jelas pemerintah tidak mau ditekan siapapun. Apalagi ini oleh para perompak, milisi, atau siapapunlah," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (31/3).

Ia mengatakan, pemerintah Indonesia tidak mau membayar 50 juta peso seperti yang diminta oleh kelompok penyandera.

Sebelumnya, berdasarkan laporan yang beredar, Abu Sayyaf meminta tebusan 50 juta peso atau setara Rp14,2 miliar, dengan tenggat pada 31 Maret 2016 untuk membebaskan 10 WNI yang disandera dalam Kapal Anand.

"Pemerintah tidak mau ditekan siapapun dan pemerintah tidak mau karena hal itu kemudian harus membayar 50 juta peso seperti yang diminta, enggak," katanya.

Ia menambahkan terkait persoalan dan nasib sandera, sekarang ini sedang ditangani oleh Pemerintah Filipina sehingga Indonesia harus menghormati upaya yang ditempuh Filipina.

Menurut dia, hal terpenting adalah harus ada jaminan bahwa WNI yang disandera bisa diselamatkan.

"Karena bagaimana pun sekarang ini sudah dalam koordinasi Kemenlu, Polri, TNI, kita bersabar masih menunggu," katanya.

Pemerintah Indonesia terus berkoordinasi Pemerintah Filipina untuk meminta jaminan agar para WNI yang ditawan itu bisa segera dibebaskan.

"Nah komunikasi yang intensif itu terus dilakukan dan kemarin saya juga berkoordinasi dengan Bu Menlu sudah ada langkah-langkah Kemenlu tapi belum bisa diumumkan kepada publik. Dan kami meyakini mudah-mudahan dengan approach ini segera terselesaikan," katanya. (Tbn/Ant)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel