Izin PT. Redpath Indonesia Terancam Dicabut
pada tanggal
Tuesday, March 15, 2016
SAPA (TIMIKA) – PT Redpath Indonesia dianggap telah melakukan pembangkangan dengan tidak mematuhi aturan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat diminta untuk tidak memberikan perpanjangan izin usaha kepada perusahaan asing ini untuk beroperasi di Indonesia, khususnya di Kabupaten Mimika. Bahkan PT Freeport Indonesia (PTFI) juga diminta tidak memperpanjang kontraknya dengan perusahaan ini.
Redpath dikatakan telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dan dilakukan tidak secara prosedural, tidak mematuhi aturan ketenagakerjaan, tidak merespon secara baik surat Bupati Mimika, DPRD Mimika dan DPR Papua. Dengan begitu, Redpath dianggap telah melakukan pembangkangan terhadap norma hukum di NKRI.
Oleh karena itu, legislator Papua meminta agar pemerintah daerah hingga pemerintah pusat tidak lagi memperpanjang izin usaha perusahaan ini. Dan sebagai kontraktor di PTFI, PTFI turut diminta tidak memperpanjang kontrak kerjasamanya dengan perusahaan ini, terutama dalam melakukan aktifitas penambangan diareal PTFI.
“Perusahaan Redpath ini tidak boleh lagi diberikan izin perpanjangan karena perusahaan ini sudah tidak taat dan patuh terhadap hukum yang berlaku di negara ini. Perusahaan ini dianggap melakukan pembangkangan dan tidak memiliki niat baik untuk mempekerjakan kembali 125 karyawan yang di PHK secara sepihak. Saya juga minta kepada PT Freeport Indonesia untuk tidak lagi memperpanjang kontrak dengan PT Redpath,” tegas Wilhelmus Pigai kepada wartawan di Timika melalui telepon, Senin (14/3).
Menurut anggota legislator Papua asal Kabupaten Mimika ini, manajemen Redpath sudah secara jelas tidak memiliki niat baik untuk mempekerjakan kembali 125 karyawan yang sudah di PHK tidak sesuai aturan. Padahal sesuai aturan ketenagakerjaan, prosedur pemecatan harus dilalui berdasarkan tahap-tahap yang sudah ditentukan dalam aturan, salah satunya dengan memberikan peringatan terhadap karyawan sebelum di PHK.
“PHK secara sepihak, perusahaan ini telah melanggar Undang-undang ketenagakerjaan. Ini perusahaan asing yang melakukan aktifitas usahanya di Indonesia, dan perusahaan manapun harus patuh dan taat terhadap peraturan yang berlaku di negara ini,” katanya.
Bahkan dampak dari PHK 125 karyawan ini, Redpath juga dianggap telah menciptakan kemiskinan dan pengangguran di Papua, dan kejadian ini dikatakan Wilhelmus Pigai merupakan kejadian luar biasa (KLB). Dengan begitu, DPR Papua akan membentuk panitia kerja (Panja) dan turun langsung mengecek permasalahan ini.
“Perusahaan ini tidak memiliki niat baik untuk mempekerjakan karyawan yang sudah sekian lama bekerja disitu. Karena itu DPR Papua akan membentuk Panja untuk akan turun langsung mengecek terhadap masalah ini,” terangnya.
Tidak hanya itu, perusahaan ini juga diminta tidak lagi merekrut tenaga kerja baru untuk mengisi kekosongan dari 125 karyawan yang di PHK, juga pembahasan Perundingan Kerja Bersama (PKB) yang sementara ini dilakukan antara pihak manajemen dengan serikat pekerja PT Redpath, harus dihentikan sebelum segala permasalahan diselesaikan.
“Tidak boleh rekrut tenaga kerja baru untuk mengisi kekosongan itu, juga pembahasan PKB yang sementara berlangsung ini, harus di stop,” ujarnya. (Saldi Hermanto)
Redpath dikatakan telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dan dilakukan tidak secara prosedural, tidak mematuhi aturan ketenagakerjaan, tidak merespon secara baik surat Bupati Mimika, DPRD Mimika dan DPR Papua. Dengan begitu, Redpath dianggap telah melakukan pembangkangan terhadap norma hukum di NKRI.
Oleh karena itu, legislator Papua meminta agar pemerintah daerah hingga pemerintah pusat tidak lagi memperpanjang izin usaha perusahaan ini. Dan sebagai kontraktor di PTFI, PTFI turut diminta tidak memperpanjang kontrak kerjasamanya dengan perusahaan ini, terutama dalam melakukan aktifitas penambangan diareal PTFI.
“Perusahaan Redpath ini tidak boleh lagi diberikan izin perpanjangan karena perusahaan ini sudah tidak taat dan patuh terhadap hukum yang berlaku di negara ini. Perusahaan ini dianggap melakukan pembangkangan dan tidak memiliki niat baik untuk mempekerjakan kembali 125 karyawan yang di PHK secara sepihak. Saya juga minta kepada PT Freeport Indonesia untuk tidak lagi memperpanjang kontrak dengan PT Redpath,” tegas Wilhelmus Pigai kepada wartawan di Timika melalui telepon, Senin (14/3).
Menurut anggota legislator Papua asal Kabupaten Mimika ini, manajemen Redpath sudah secara jelas tidak memiliki niat baik untuk mempekerjakan kembali 125 karyawan yang sudah di PHK tidak sesuai aturan. Padahal sesuai aturan ketenagakerjaan, prosedur pemecatan harus dilalui berdasarkan tahap-tahap yang sudah ditentukan dalam aturan, salah satunya dengan memberikan peringatan terhadap karyawan sebelum di PHK.
“PHK secara sepihak, perusahaan ini telah melanggar Undang-undang ketenagakerjaan. Ini perusahaan asing yang melakukan aktifitas usahanya di Indonesia, dan perusahaan manapun harus patuh dan taat terhadap peraturan yang berlaku di negara ini,” katanya.
Bahkan dampak dari PHK 125 karyawan ini, Redpath juga dianggap telah menciptakan kemiskinan dan pengangguran di Papua, dan kejadian ini dikatakan Wilhelmus Pigai merupakan kejadian luar biasa (KLB). Dengan begitu, DPR Papua akan membentuk panitia kerja (Panja) dan turun langsung mengecek permasalahan ini.
“Perusahaan ini tidak memiliki niat baik untuk mempekerjakan karyawan yang sudah sekian lama bekerja disitu. Karena itu DPR Papua akan membentuk Panja untuk akan turun langsung mengecek terhadap masalah ini,” terangnya.
Tidak hanya itu, perusahaan ini juga diminta tidak lagi merekrut tenaga kerja baru untuk mengisi kekosongan dari 125 karyawan yang di PHK, juga pembahasan Perundingan Kerja Bersama (PKB) yang sementara ini dilakukan antara pihak manajemen dengan serikat pekerja PT Redpath, harus dihentikan sebelum segala permasalahan diselesaikan.
“Tidak boleh rekrut tenaga kerja baru untuk mengisi kekosongan itu, juga pembahasan PKB yang sementara berlangsung ini, harus di stop,” ujarnya. (Saldi Hermanto)