Syukur Sebagai Wujud Bertauhid
pada tanggal
Friday, February 12, 2016

“Wahai sekalian semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya sedangkan mereka tidak menyadari” (QS. Al-Naml: 18)
Sulaiman yang dianugerahi Allah kemampuan mengerti bahasa para binatang di antara kelebihan-kelebihannya yang lain, hanya tersenyum demi mendengar perkataan seekor semut itu. Sulaiman pun langsung memanjatkan doa:
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku ilham agar tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku berbuat kebaikan yang Engkau ridhai masukkan aku dengan kasih-sayang-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih”. (QS. AL-Naml: 19)
Kebanyakan manusia seringkali lupa bersyukur, tatkala ia mendapatkan sedikit saja kenikmatan apalagi banyak. Berbeda dengan Nabi Sulaiman, yang karena sikap kerendahan hatinya pantas ditunjuk oleh Allah sebagai nabi yang harus kita teladani perbuatan dan tingkah lakunya, justru tak lupa bersyukur atas seluruh kenikmatan yang diperolehnya kepada Allah.
Syukur adalah hikmah, atau sebagaimana diartikan para failasuf dengan “pengetahuan sejati”, pengetahuan sejati pertama yang diterima oleh Lukman al-Hakim. Allah subhanahu wata’ala menceritakan:
“Dia sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu ‘bersyukurlah kepada Allah dan barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya, Maha Terpuji”. (QS. Luqman: 12).
Mengapa syukur menjadi tingkah laku utama? Karena nikmat Allah sudah begitu besar dan begitu banyak terlimpah kepada kita semua. Rasanya begitu malu jika kita masih meminta-minta kepada Allah, padahal sudah begitu banyak yang Ia curahkan. Kita terlalu banyak meminta tapi sedikit sekali bersyukur.
Seharusnya kita banyak bersyukur tapi juga banyak meminta, karena Allah justru akan marah jika kita tidak meminta kepada-Nya. Ini menandakan bahwa sebanyak apapun kita meminta nikmat Allah tidak jua habis dikuras. Allah berfirman: “Katakanlah wahai Muhammad, seandainya air laut dijadikan tinta untuk menghitung kalimah atau nikmat Tuhanku maka habislah lautan itu sebelum nikmat-nikmat selesai dicatat, bahkan jika seandainya Allah mendatangkan lagi jumlah lautan yang sama”. (QS. Al-Kahf: 109).
Nikmat Allah begitu banyak, bahkan nafas dan detak jantung yang bekerja saat ini adalah sebagian nikmat Allah SWT. Bayangkanlah, jika kita menderita sesak napas saja, sudah begitu menderitanya kita, apalagi jika nafas ini dicabut oleh Allah, atau bayangkanlah jika detak jantung ini terlalu cepat atau terlalu lambat, sudah begitu sakitnya terasa oleh kita, apalagi jika jantung sudah tak lagi bekerja memompa darah ke seluruh tubuh. Ingatlah, karena itu, untuk selalu bersyukur. Karena itu kita diajarkan untuk memulai hari dengan ungkapan rasa syukur, melalui doa sederhana Alhamdulillahhirabbil alamin “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami dan kepada-Nya-lah tempat kembali”.
Syukur adalah pengakuan sungguh-sungguh bahwa semua rejeki dan anugerah yang menghadirkan perasaan nikmat dalam jiwa kita yang berasal hanya dari Allah SWT. Oleh itu, orang yang bersyukur akan terpatri dalam hatinya bahwa “semua kenikmatan, pengetahuan, kemampuan, kekuasaan, dan harta yang kumiliki ini karena kehendak dan perbuatan Allah SWT, bukan karena kehendak dan perbuatan usahaku sendiri.”
Dengan pengakuan ini maka orang yang bersyukur akan menempatkan Allah sebagai sumber kenikmatan yang didapatnya. Karena Allah adalah sumber kebaikan, yang kita ketahui dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. “dan barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri”
Orang yang tidak bersyukur disebut oleh Allah dengan kufr atau dijabarkan lagi oleh ulama dengan sebutan kufr ni’mah. Kata kufrjuga berarti ingkar terhadap Allah. Orang yang ingkar disebut dengan kafir. Karena itu, orang yang tidak bersyukur berarti mengingkari bahwa pengetahuan, kemampuan, kekuasaan, harta dan segala kenikmatan lain yang diperolehnya berasal dari Allah. Dalam hatinya ia merasa bahwa nikmat yang didapatnya berasal dari usaha dirinya sendiri. Dengan demikian, sebutan kafir tidak hanya disematkan kepada orang yang bukan Islam. Tetapi juga dikenakan kepada orang muslim yang tidak bersyukur.
Dengan demikian, rasa syukur mengandung unsur ketauhidan. Karena ia berhubungan dengan pengakuan akan kemahakuasaan Allah SWT. Rasa syukur juga mengandung unsur ajaran akhlak dalam Islam, sebab ia berhubungan dengan perbuatan baik yang dilakukan orang bersyukur, yang jika dilakukan akan mendatangkan kebaikan dan kenikmatan yang lebih banyak lagi dan sebaliknya jika nikmat dipergunakan untuk perbuatan buruk dan jahat akan mendatangkan keburukan dan kejahatan yang lebih besar lagi. Inilah nampaknya makna yang terkandung dalam firman Allah:
“Jika Engkau bersyukur atas nikmat-nikmat-Ku maka akan kutambahkan nikmat-nikmat itu, tetapi jika Engkau kufr (ingkar tidak mengakui bahwa itu semua dari-Ku) maka azab-Ku sangatlah pedih” (QS. Ibrahim:7)