-->

APBD Pro Rakyat?

ANGGARAN Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menurut pasal 23 ayat (1) UUD 1945 adalah sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan demikian jelas, APBN dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah untuk kemakmuran rakyat. Sekali lagi APBN dan APBD adalah untuk rakyat dan bukan untuk birokrat.

Lewat APBD bisa diketahui sejauh mana komitmen kepala daerah untuk mensejahterahkan rakyatnya. Tapi praktek saat ini, ternyata lebih dari 60 persen APBD terserap untuk belanja kepentingan birokrat dari pada belanja untuk kepentingan rakyat banyak. Lihatlah setiap tahun APBD yang lebih banyak dihabiskan untuk kepentingan birokrat dan dikorupsi secara berjamaah. Dengan postur APBD seperti ini, jelas bagian yang diperoleh rakyat dari pajak yang dibayarkannya hanya sedikit. Sudah pasti APBD seperti ini tidak pro rakyat.

Ada beberapa faktor penyebab lahirnya APBD pro birokrat ini. Pertama belum dilakukan reformasi dalam struktur birokrasi di daerah. Konsekuensi jumlah pegawai yang besar, jelas mempengaruhi besarnya honorium PNS dan non PNS, termasuk uang lembur. Kedua, banyaknya kegiatan yang ada belanja pegawai dilaksanakan oleh SKPD tanpa ada batasan yang jelas berapa banyak  pegawai di kegiatan tersebut. Akibatnya terjadi kecenderungan untuk memecah kegiatan tersebut untuk memperbesar honor-honor.

Ketiga, besarnya tambahan penghasilan PNS. Karena Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada birokrat daerah sepanjang kemampuan keuangan daerah memungkinkan dan memperoleh persetujuan DPRD. Keanehan lainnya, pegawai sudah diberikan tambahan penghasilan, tetapi penganggaran honor-honor di belanja langsung tetap berjalan.

Bahkan yang lebih aneh anggaran daerah yang digunakan SKPD tidak berpihak kepada rakyat. Sekalipun SKPD tersebut sebenarnya langsung berhubungan dengan kebutuhan rakyat seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum, pertanian, peternakan dan perhubungan. Sejatinya APBD tidak mengangkangi  hak-hak dasar rakyat, terutama kebutuhan rakyat untuk bisa hidup lebih baik. Tanpa adanya keperdulian dari pemerintah daerah lewat APBD, kemiskinan dan keterpurukan rakyat akan terus berlangsung secara massive.

Terkait dengan membengkaknya anggaran untuk kepentingan birokrasi, seharusnya DPRD bisa menjalankan fungsi anggaran yang dimilikinya dengan baik. Artinya DPRD mestinya lebih mengetahui mana kebutuhan anggaran yang pro rakyat dan mana yang pro birokrat. Sebagai wakilnya rakyat, mestinya DPRD mendengar dan menyuarakan kepentingan rakyat  lewat APBD yang  pro rakyat.

Namun dalam prakteknya, terkadang fungsi pengawasan DPRD tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. DPRD sepertinya lebih suka mengamankan kepentingan dan kebutuhannya sendiri dari pada rakyat. Fungsi pengawasan dewan seharusnya mampu untuk menjawab apa yang menjadi aspirasi dan kebutuhan akan program-program yang pro rakyat.

Pada dasarnya rakyat sangat berharap banyak kepada  DPRD agar dapat menggunakan fungsinya, baik dalam pelaksanaan fungsi anggaran maupun pengawasan. Sehingga apa yang tertuang dalam APBD benar-benar menyahuti kepentingan dan kebutuhan rakyat di daerah.

Lalu bagaimana dengan sikap DPRD Mimika yang mulai Senin depan akan membahas Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) yang bakal ditetapkan menjadi APBD Mimika tahun 2016? Apakah DPRD Mimika akan menghasilkan APBD yang pro rakyat? Atau pro birokrat, termasuk pro kepentingan DPRD sendiri? Dengan banyaknya anggota DPRD muka baru, mestinya ada semangat baru yang lebih menomorsatukan APBD pro rakyat. Apakah harapan baru ini akan terwujud? Mari kita tunggu saja hasil akhirnya? (Redaksi)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel