-->

Bersatu Perjuangkan Presdir Asli Papua

SETELAH PT Freeport Indonesia (PTFI) beroperasi lebih dari 40 tahun di Papua, sangatlah wajar bila saat ini ada keinginan kuat agar jabatan Presiden Direktur (Presdir) dijabat oleh orang asli Papua. Sangatlah wajar bila orang asli Papua ingin menjadi tuan di negeri sendiri, setelah sekian puluh tahun jabatan penting dan strategis tersebut dipegang oleh tuan-tuan dari daerah lain.

Bila dicermati secara saksama sebenarnya ada sekian orang asli Papua yang layak menduduki jabatan tinggi tersebut, walaupun bisa jadi menimbulkan pro dan kontra di kalangan orang asli Papua sendiri. Apalagi harus disertai dengan syarat orang asli Papua tersebut harus pro rakyat, seperti yang dikemukakan Wakil Ketua III Lemasko, Marianus Maknaipeku. Syarat ini boleh dikata gampang-gampang susah karena fakta membuktikan banyak oknum pejabat asli Papua begitu dipercaya menduduki satu jabatan penting, justru melupakan orang asli Papua sendiri, justru tidak pro rakyat. Jabatan yang diemban lebih banyak digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga dan kelompoknya.

Lepas dari syarat-syarat yang disampaikan, terkabulnya keinginan agar orang asli Papua menjadi Presdir PTFI sebenarnya bukan hal yang gampang. Kalau hanya sekedar menyampaikan aspirasi saja sudah pasti tidak cukup kuat gaungnya untuk menggolkan keinginan tersebut.

Patut diketahui bahwa jabatan Presdir PTFI itu ibarat gula yang sangat amat manis dan banyak semut berebut, bahkan harus bertabrakan dan saling menyenggol satu sama lain agar bisa menikmati gula yang super manis tersebut. Kasus “Papa Minta Saham” yang melibatkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto telah membuka tabir gelap yang selama ini terselubung. Karena itu patut diduga, siapa pengganti Maroef Syamsuddin tidak akan luput dari pertarungan elit politik kelas atas, terbungkus kepentingan bisnis yang akan dinikmati di perusahaan tambang emas raksasa dunia tersebut.

Kalau permainannya sudah pada tingkat tinggi seperti ini, apakah mungkin suara-suara asli masyarakat asli Papua agar Presdir orang asli Papua yang disampaikan melalui aksi damai bisa terdengar di Jakarta dan bisa diakomodir oleh para pengambil keputusan di negeri ini? Kemungkinan besar tidak didengar, apalagi dipenuhi.

Karena itu apa yang disampaikan Ketua Lembaga Investigasi dan Informasi Kemasyarakatan (LIDIK) Papua, Hendrik Abnil Gwijangge  agar Gubernur Papua, DPR Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP) perlu menyatukan persepsi agar posisi Presdir PTFI yang ditinggalkan Maroef Sjamsoeddin bisa diisi orang asli Papua harus direalisasikan.

Sebenarnya tidak hanya gubernur, DPRP dan MRP, tapi juga lembaga-lembaga adat, terlebih lembaga-lembaga adat yang ada di Kabupaten Mimika dan kabupaten tetangga yang masuk area pertambangan PTFI.  Juga seluruh karyawan, terlebih karyawan asli Papua yang bekerja di PTFI. Harus bersatu, harus satu kekuatan, harus satu suara, satu kesepakatan, satu keputusan bersama, satu rekomendasi, ditandatangani bersama-sama dan disampaikan kepada Pemerintah Pusat. Kalau elit-elit dan lembaga di Timika berjuang sendiri dan di Jayapura berjuang sendiri, maka keinginan agar Presdir orang asli Papua bisa jadi seperti mimpi di siang bolong yang tidak akan pernah terwujud.  

Untuk bersatu, harus ada orang/pejabat, pihak atau lembaga tertentu yang menjadi pioner pemersatu. Kalau ada orang/pejabat, pihak atau lembaga di Timika yang berani tampil menjadi pioner pemersatu demi mendapatkan Presdir PTFI orang asli Papua tentu sangatlah bagus.  (Redaksi)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel