Pemprov Belum Dapat Keputusan Resmi Divestasi Saham Freeport
pada tanggal
Tuesday, January 26, 2016

SAPA (JAYAPURA) – Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua, Ir Bangun Manurung, M.Plan mengatakan terkait Divestasi Saham PT.Freeport Indonesia, dirinya mengaku sejauh ini Pemerintah Papua belum mendapat keputusan secara resmi dari pemerintah pusat. Ia menjelaskan sesuai mekanisme, divestasi saham ini ditawarkan PT. Freeport ke Pemerintah pusat. Dimana kalau tidak diambil akan diberikan ke Pemerintah Daerah dalam hal ini pemerintah Papua.
“Kalau tidak juga diambil, maka diberikan ke BUMN, dan terakhir akan dilepas ke IPO,”terangnya kepada wartawan Senin (25/1) di Kantor Gubernur Papua.
Seperti diketahui pengertian IPO adalah Initial Public Offering atau Penawaran umum perdana, penjualan pertama saham umum dari perusahaan kepada investor (Go Public)
Saat disinggung adanya rencana Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk bergabung atau sharing dana membeli saham perusahaan tambang terbesar dunia itu, Bangun mengaku belum mengetahui secara persis terkait hal itu.
“Saya belum tahu persis bagaimana sikap pemerintah pusat. Kami juga belum dapat surat keputusan resmi terkait itu,”akunya.
Terkait harga divestasi saham yang ditawarkan sebesar US$ 1,7 miliar atau 10,64% atau sebesar Rp 23 triliun ke Pemerintah Indonesia menurut Bangun, terlalu besar sementara pasarannya hanya 5 milyar Dollar Amerika.
“Kalau sebesar itu pemerintah tentunya tidak akan beli. Nah hal seperti inilah yang harus didiskusikan dan dijembatani dengan baik oleh Presdir yang baru,”ucapnya.
Sementara itu Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Papua, Ir.Bangun Manurung berharap Presiden Direktur (Presdir) PT.Freeport Indonesia yang baru, dapat menjadi mediator atau dapat menjembatani dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang selama ini terjadi antara Pemerintah Papua dengan perusahaan tambang emas terbesar di dunia itu.
“Pergantian jabatan Presdir Freeport sepenuhnya adalah kewenangan internal perusahaan. Namun diharapkan ke depan yang diangkat menjadi Presiden Direktur, tentunya dapat memahami situasi keadaan yang terjadi di Papua. Apa yang diinginkan oleh pemerintah Papua dalam hal ini pak gubernur dan masyarakat Papua,” ujarnya.
Menurutnya, Presdir yang baru nantinya harus bisa mempersiapakan segala sesuatu yang selama ini menjadi topik persoalan yang belum terselesaikan antara Freeport dan pemerintah Papua. Seperti persoalan perpanjangan kontrak karya Freeport, divestasi saham, gugatan yang diajukan pemerintah Papua terkait pajak air dan permukaan dan berbagai persoalan lainnya. “Tentunya kami berharap figure yang baru bisa menyelesaikan persoalan ini,”ucapnya.
Selain itu juga dirinya mengharapkan Presdir yang baru dapat melihat bagaimana peran perusahaan terhadap pembangunan dan kesejahteraan di Papua, bagaimana masyarakat mendapat manfaat yang lebih dari keberadaan perusahaan tersebut.
“Termasuk kewajiban - kewajiban perusahaan yang selama ini yang mungkin belum terselesaikan dengan baik,”tukasnya.
Seperti diketahui, Maroef Sjamsoeddin resmi mengakhiri masa kontraknya selama setahun sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia sejak 18 Januari 2016 lalu. Meski Pimpinan Freeport Mc Moran menawarkan untuk perpanjangan kontrak namun ditolak oleh Maaroef.
Maroef merupakan Presdir Freeport Indonesia berlatar belakang militer dengan pangkat terakhir Marsekal Muda (Purn) TNI AU. Sebelum menjabat Presdir Freeport Indonesia, Maroef adalah mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara periode 2011-2014. Pengunduran diri Maroef terjadi saat isu kelanjutan operasi Freeport di Papua tengah berlangsung, termasuk kasus rekaman pembicaraannya dengan mantan Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha minyak Riza Chalid.
Freeport sudah mengajukan perpanjangan kontrak dari seharusnya berakhir 2021 menjadi 2041. Namun, sesuai UU No. 4 Tahun 2014 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, pengajuan perpanjangan kontrak baru bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir. Kontrak Freeport baru berakhir pada 2021. Dengan demikian, paling cepat pengajuan kontrak dilakukan pada 2019. (maria fabiola)